Senin, 28 April 2014

Diary Sang Zombigaret

Diposting oleh Unknown di 07.02 0 komentar


      Pagi ini di kala matahari belum menampakkan dirinya, aku terduduk lemah di atas sebuah kursi roda yang beberapa bulan belakangan ini menjadi teman setiaku. Pandanganku menerawang jauh ke depan, sekarang tak lagi kulihat hiruk pikuk aktivitas kota yang padat. Ya, tentu saja karena aku sedang mengasingkan diri, tepatnya dipaksa oleh keluargaku untuk mengasingkan diri ke sebuah desa kecil yang bisa kubilang seperti hutan belantara. Bagaimana tidak, aku tak pernah melihat pusat perbelanjaan, cafĂ© ataupun sesuatu yang bisa kulihat di kota. Di sini, di tempat ini hanya ada hamparan pohon berwarna hijau. Aku merasa kesepian, dan mereka seakan tak perduli padaku. Aku terasingkan.

      Aku menutup kedua mataku, merasakan segarnya udara pagi yang berhembus lewat jendela rumah yang sengaja kubuka lebar. Udara pagi ini begitu dingin, hingga menembus pori-pori kulitku. Tubuh ringkihku ini ternyata masih sanggup menahan udara sedingin ini.

      “Mas Wira, sudah bangun? Kenapa di sini, nanti penyakit mas Wira kambuh loh mas?” 

      suara seorang wanita terdengar lembut menyapa telingaku. Aku menoleh padanya, kudapati gadis cantik yang masih mengenakan piyama bercorak batik sedang tersenyum lembut ke arahku. Aku hanya tersenyum simpul ke arahnya dan dia mendekatiku. Rini, gadis itu sekarang sudah berdiri di sampingku, memegang lembut kedua bahuku. Ia melakukan hal yang sama seperti apa yang kulakukan, memandang ke luar lewat jendela yang terbuka.

      Gadis ini begitu baik, dia yang menjagaku selama ini. Dia yang menemaniku tinggal di rumah kecil ini. Gadis yang usianya terpaut denganku 5 tahun ini begitu telaten mengurusi dan merawatku. Tak pernah sekalipun kudengar ia berkeluh kesah, ia selalu sabar menghadapiku yang terkadang sering berubah mood. Ya, kadang-kadang aku bisa menjadi seorang lelaki yang lembut tapi sedetik kemudian aku bisa saja menodongkan pisau ke arahnya. Tapi ia tak merasa gentar sedikitpun, ia tetap bertahan di sampingku. Entah apa yang dia harapkan dari lelaki penyakitan sepertiku. 

“Aku akan selalu ada di samping mas Wira. Aku tak akan meninggalkan mas Wira walau dalam kondisi apapun”

    Itu ucapan yang selalu terlontar dari bibir mungilnya dan aku selalu tersentuh ketika mendengarnya. Setidaknya ada yang masih peduli padaku, walau hati kecilku selalu berteriak bahwa aku tak pantas untuk mendapat perlakuan seperti itu darinya.

     Aku adalah penderita kanker paru-paru, dan Rini berhak mendapat lelaki yang lebih sehat dibanding aku. Mungkin dulu aku adalah seorang lelaki sehat yang masih pantas untuk dicintai, tapi sekarang aku hanyalah lelaki yang tak berguna dan diasingkan. Seringkali dalam kesendirianku aku menyesali kehidupanku yang dulu, gaya hidup hedonismeku. Aku terjerumus ke dalam dunia malam. Kala itu, mabuk adalah pilihan utamaku saat aku frustasi, dan benda kecil yang orang sebut cigarete adalah teman setiaku dulu sebelum kursi roda ini menggantikannya. 

     Aku hidup  seperti zombie, yang tak bisa lepas dari benda kecil itu. Semakin lama, benda berbentuk panjang itu semakin meracuni tubuhku. Aku akan sangat sekarat jika sehari saja tak menghisapnya, sungguh aku bisa mati karenanya. Aku juga akan sangat membabibuta jika Rini memintaku untuk berhenti merokok, aku bilang padanya bahwa dia tidak usah melarang apa yang aku suka kendatipun itu demi kebaikanku. 

      Lihatlah hidupku sekarang! aku termakan ucapanku sendiri. Kenikmatan duniawi sudah tak lagi bisa kurasakan. Usiaku baru saja menginjak 28 tahun tapi aku sudah sakit-sakitan. Aku harus selalu menahan rasa sakit yang bisa menyerangku kapan saja. Aku begitu tersiksa. Seandainya waktu bisa kuputar ulang, aku ingin memperbaiki hidupku. Aku ingin menjauhkan hidupku dari benda terkutuk yang membuatku seperti ini. Namun benar kata pepatah, jika penyesalan itu akan datang terlambat. Sia-sia aja aku menyesalinya saat ini. Aku hanya tinggal menunggu kapan kematian datang menjemputku. 

      Mataku kembali menerawang jauh ke depan. Sayup-sayup kudengar sekumpulan burung berkicau merdu di luar sana seolah menertawakan keadaanku, dan aku hanya bisa tersenyum getir mendengarnya.
 

my sketch Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei